Kiranya Niat Naik Haji Mereka Telah Betul: Tadarus tentang Naik Haji Oleh: Ahmad Rofi’ Usmani

  • Assalaam
  • H. Muttaqien
  • 23
...

“KIRANYA ibadah haji Kang Husein dan lain-lainnya mabrur!” Tiba-tiba, tanpa terasa, bibir saya berdoa sepenuh hati demkian, beberapa hari yang lalu. Ya, bibir saya berdoa demikian, ketika saya sedang mencermati beberapa foto Kang Husein di fesbuk yang sedang berdoa menjelang bertolak ke Tanah Suci, dengan tujuan naik haji. Yang saya maksud dengan Kang Husein dalam doa tersebut adalah seorang kiai moncer dari Cirebon: K.H. Dr. (HC) Husein Muhammad. Lama foto-fotonya saya cermati. Melihat tubuhnya yang tampak kian kurus, bibir saya kemudian berdoa lagi, “Ya Rabb. Karuniakanlah kesehatan dan keafiatan kepada Kang Husein, sehingga ia leluasa dalam naik haji tahun ini, amin.”

Usai bibir saya berdoa sepenuh hati demikian, tiba-tiba benak saya “mengembara”. Ya, mengembara. Namun, tidak jelas mengembara ke mana. Tiba-tiba benak saya menukik dan “bertemu” dengan seorang Tuan Guru yang sedang berbincang dengan salah seorang muridnya. Ya, berbincang dengan salah seorang muridnya yang belum lama naik haji.

Dalam perbincangan tersebut, Tuan Guru itu bertanya kepada si murid, “Muridku. Apakah engkau telah menyiapkan niat yang betul ketika naik haji yang lalu?”

“Sudah, Tuan Guru. Saya telah menyiapkan niat yang betul ketika naik haji.”

“Bersama dengan niat untuk naik haji, apakah engkau juga mempunyai niat untuk meninggalkan selamanya segala hal yang telah engkau lakukan yang bertentangan dengan semangat haji. Sejak engkau dilahirkan?”

“Tidak, Tuan Guru. Tidak saya melakukannnya.”

“Duh, muridku. Sejatinya, dalam hal ini engkau tidak menyiapkan niat yang betul ketika naik haji.”

Usai berucap demikian, kemudian sang Tuan Guru berucap, “Ketika pakaian ihram engkau kenakan, apakah engkau tanggalkan pakaianmu?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Pada saat engkau tanggalkan pakaianmu, apakah engkau berjanji akan menanggalkan segala sesuatu darimu selain Allah Swt.?”

“Oh, saya tidak melakukannya, Tuan Guru,” jawab si murid. Sambil menundukkan kepala.

“Duh, muridku. Dalam hal itu sejatinya engkau tidak menanggalkan pakaianmu, lo. Apakah engkau juga membersihkan diri dengan mandi dan berwudhu?”

“Benar, Tuan Guru. Saya membersihkan diri dengan cara demikian.”

“Pada saat itu, apakah engkau juga membersihkan diri dari segala dosa dan kesalahan?”

“Tidak, Tuan Guru. Mengenai hal itu, saya merasa tidak pasti.”

Mendengar jawaban yang demikian, sang Tuan Guru sejenak “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia berucap, “Duh, muridku. Sejatinya dalam hal ini engkau tidak membersihkan dirimu, lo. Apakah engkau mengucapkan, ‘Labbaika...’?”

“Ya, Tuan Guru. Saya mengucapkan, ‘Labbaika...’”

“Apakah ketika mengucapkan ‘Labbaika...’ engkau mendengar jawabannya dari Allah Swt.?”

“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak mendengar jawaban apa pun.”

“Oh. Jika demikian, talbiyah macam apa yang engkau ucapkan? Dan, (ketika naik haji), apakah engkau memasuki Tanah Haram?”

“Ya, Tuan Guru. Saya memasuki Tanah Haram.”

“Ketika engkau memasuki Tanah Haram, apakah engkau berjanji akan meninggalkan setiap yang haram. Untuk selamanya?”

“Mohon maaf, Tuan Guru. Saya tidak melakukannya.”

Mendengar jawaban yang demikian, sang Tuan Guru sejenak kembali “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia berucap, “Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak memasuki sama sekali Tanah Haram. Apakah engkau juga berziarah ke seputar Makkah Al-Mukarramah?”

“Tentu, Tuan Guru. Saya berziarah ke seputar Kota Suci itu.”

“Ketika engkau berziarah ke sana, apakah engkau melihat akhirat?”

“Sekali lagi, mohon maaf, Tuan Guru. Saya tidak melihat apa pun.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak berziarah ke sana.

Usai berucap demikian, sang Tuan Guru sejenak kembali “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia bertanya, “Apakah engkau juga memasuki Masjid Al-Haram?”

“Ya, saya memasuki Masjid Al-Haram, Tuan Guru.”

“Ketika engkau memasuki Masjid Al-Haram, apakah engkau merasakan dirimu dekat dengan Allah Swt.?”

“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak merasakan apa pun.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak memasuki masjid itu. Apakah engkau melihat Ka‘bah?”

“Ya, Tuan Guru. Saya melihatnya.”

“Apakah engkau melihat Yang Wujud yang karena Dia, Ka‘bah diziarahi.”

“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak melihat apa pun.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melihat Ka‘bah.

Usai berucap demikian, sang Tuan Guru sejenak kembali “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia bertanya lagi, “Apakah engkau melakukan raml (berlari kecil) ketika melaksanakan tawaf?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Ketika engkau berlari kecil demikian, apakah engkau merasa dirimu ingin keluar dari urusan duniawi?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Duh, muridku. Sejatinya, dalam hal ini engkau tidak melakukan raml. Apakah engkau letakkan tanganmu pada Hajar Aswad dan mengecupnya?”

“Ya, Tuan Guru.”

Mendengar jawaban muridnya yang demikian, tiba-tiba wajah Tuan Guru itu memucat dan tubuhnya bergetar karena takut sekali. Sehingga, jeritan kecil terlepas dari mulutnya. Beberapa lama kemudian Tuan Guru itu berucap, “Duh, muridku. Tidakkah engkau pernah mendengar pesan Rasulullah Saw., ‘Barangsiapa meletakkan tangannya di atas Hajar Aswad, ia bagaikan sedang berjabat tangan dengan Allah Swt. Ia akan selamat dari segala-galanya.’ Apakah engkau merasakan sesuatu dari keselamatan itu?”

“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak merasakan apa pun.”

“Duh. Sejatinya engkau tidak menyentuh Hajar Aswad, muridku.”

Seperti sebelum itu, usai berucap demikian, sang Tuan Guru sejenak kembali “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia bertanya lagi, “Apakah engkau melaksanakan shalat dua rakaat di dekat Maqam Ibrahim?”

“Ya, Tuan Guru. Saya melaksanakan shalat dua rakaat di tempat itu.”

“Suatu ketika engkau akan ditempatkan di suatu tempat yang tinggi oleh Allah Swt. Apakah engkau ketika itu merasa sedang melaksanakan urusan tersebut dengan kedudukan yang tinggi yang mendorong engkau berdiri di situ?”

“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak melakukan apa pun.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melaksanakan shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim. Apakah engkau melaksanakan sa‘i di antara Shafa dan Marwah serta mendaki Shafa?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Apakah yang engkau lakukan di sana?”

“Saya melantunkan takbir tiga kali dan berdoa kepada Allah Swt. kiranya ibadah haji saya diterima.”

“Apakah engkau merasa para malaikat juga melantunkan takbir bersamamu? Dan, apakah engkau memahami pengertian takbir?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melantunkan takbir.

Lagi-lagi, seperti sebelum itu, usai berucap demikian, sang Tuan Guru sejenak kembali “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia bertanya lagi, “Apakah engkau turun dari Shafa?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Ketika engkau turun dari bukit tersebut, apakah engkau merasa bahwa segala kemaksiatan dan kelemahan lepas dari dirimu serta kebeningan jiwa merasuki dirimu?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak turun dari Shafa. Apakah engkau berlari kecil antara Shafa dan Marwah?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Ketika berlari kecil, apakah engkau merasa dirimu melarikan diri jauh dari segala sesuatu selain Allah Swt. dan sampai kepada-Nya?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Jika demikian, engkau tidak berlari kecil. Apakah engkau mendaki Marwah?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Ketika berada di Marwah, apakah engkau merasakan ketenangan jiwa dan kedamaian yang dikaruniakan kepadamu?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak mendaki Marwah. Muridku, apakah selepas itu engkau meneruskan perjalanan menuju Mina?”

“Ya, saya melakukannya.”

Lagi-lagi, seperti sebelum itu, usai berucap demikian, sang Tuan Guru sejenak kembali “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia bertanya lagi, “Ketika berada di Mina, apakah engkau mendambakan harapan kepada Allah Swt. bahwa engkau tidak akan melakukan perbuatan maksiat?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Hal itu berarti engkau tidak pergi ke Mina. Apakah engkau berziarah ke Masjid Khaif?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Apakah mengalami ketakutan kepada Allah Swt. yang belum pernah engkau alami sebelumnya?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Hal itu berarti engkau tidak berziarah ke Masjid Khaif. Apakah engkau sampai ke Arafah?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Ketika berada di Arafah, apakah engkau tahu, apakah sebab kehadiranmu di dunia ini, apa yang engkau lakukan di sini, ke mana engkau akan pergi selepas ini, dan apakah tahu hal-hal yang menunjukkan ke arah semua itu?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Duh, muridku. Dengan demikian, sejatinya engkau tidak mendatangi Arafah.”

Lagi-lagi, seperti sebelum itu, usai berucap demikian, sang Tuan Guru sejenak kembali “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia bertanya lagi, “Apakah engkau mendatangi Muzdalifah?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Ketika berada di Muzdalifah, apakah engkau mengingat Allah, sehingga segala sesuatu engkau lupakan ketika nama Allah Swt. disebut? (Hal ini merujuk pada firman Allah Swt.,“Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. Karena itu, apabila kalian telah bertolak dari ´Arafah, berdzikirlah kepada Allah di Masy´ar Al-Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kalian; dan sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS Al-Baqarah [2]: 198)).”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Dengan demikian, sejatinya engkau tidak sampai ke Muzdalifah. Apakah engkau menyembelih kurban di Mina?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Apakah engkau mengorbankan dirimu?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Jadi, engkau tidak menyembelih kurban apa pun. Apakah engkau melontar jamarat?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Ketika engkau melontar jamarat, apakah engkau merasakan dirimu melontar segala kebodohanmu dan merasa ilmu pengetahuanmu bertambah?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melontar jamarat. Apakah engkau melakukan ziarah?”

“Ya, Tuan Guru.”

Lagi-lagi, seperti sebelum itu, usai berucap demikian, sang Tuan Guru sejenak kembali “terbungkam”. Tidak lama kemudian, ia bertanya lagi, “Apakah engkau merasakan terjadinya peningkatan ruhaniahmu dan turunnya penghormatan serta kemuliaan dari Allah Swt. kepadamu? Karena Rasulullah Saw. berpesan, ‘Barang siapa melaksanakan haji atau barang siapa melaksanakan umrah, ia menjadi tamu Allah’. Dan, manakala ia berziarah kepada seseorang, merupakan haknya untuk dihormati.”

“Tidak, Tuan Guru. Saya tidak merasakan apa pun.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melakukan ziarah apa pun. Apakah engkau kemudian menanggalkan kain ihram yang engkau kenakan dengan tahallul?

“Ya, Tuan Guru.”

“Ketika engkau menanggalkan kain ihram, apakah engkau berjanji akan mencari nafkah yang halal sepanjang masa?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Duh, muridku. Sejatinya, dengan demikian, engkau tidak menjadi halal (menanggalkan kain ihram). Apakah engkau melakukan Tawaf Wada‘?”

“Ya, Tuan Guru.”

“Apakah engkau juga menyatakan selamat tinggal sepenuhnya kepada hawa nafsumu?”

“Tidak, Tuan Guru.”

“Duh, muridku. Sejatinya engkau tidak melakukan Tawaf Wada‘. Kembalilah ke Tanah Suci, muridku. Naik hajilah sekali lagi. Laksanakanlah sebagaimana telah kupaparkan kepadamu.”

Sebuah kisah indah dan sarat dengan pesan. Kiranya sahabat saya dari Cirebon serta para jamaah haji tahun ini dapat menjadikan kisah tersebut sebagai renungan dan pelajaran.

Kiranya demikian!

Artikel Lainnya