Kebersamaan Teruji di Makkah: Polemik Syarikah dan Pemecahan Kloter Jamaah

  • Assalaam
  • H. Muttaqien
  • 4
...

Musim haji 2025 menjadi momen ujian tersendiri bagi jamaah haji Indonesia. Di tengah semangat spiritual menuju Baitullah, muncul tantangan baru yang tidak sedikit menimbulkan kegelisahan: sistem syarikah yang menyebabkan jamaah dalam satu kloter dipisahkan penempatannya. Hal ini mengguncang tatanan kebersamaan yang selama ini menjadi kekuatan utama haji Indonesia.

Sistem syarikah adalah kebijakan baru Pemerintah Arab Saudi yang menunjuk perusahaan-perusahaan swasta sebagai penyedia layanan haji, termasuk akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pemondokan di Arafah-Mina. Jamaah tidak lagi diatur secara terpadu oleh satu institusi nasional seperti sebelumnya, melainkan tersebar sesuai dengan penempatan masing-masing syarikah.

Dampaknya, jamaah dari satu kloter kini bisa tinggal di hotel yang berbeda-beda, bahkan dengan fasilitas dan layanan yang tidak seragam. Bukan hanya kenyamanan yang terganggu, tapi juga rasa kebersamaan yang selama ini menjadi kekuatan kloter—terutama saat menghadapi dinamika ibadah di Tanah Suci. Tak sedikit jamaah yang merasa kesepian, kehilangan pendamping, atau kesulitan mendapatkan bantuan saat dibutuhkan.

Perubahan ini juga menjadi tantangan berat bagi para petugas haji Indonesia. Mereka dituntut untuk tetap melayani seluruh jamaah dalam kloter yang sama, meskipun para jamaah kini tersebar di berbagai titik. Koordinasi menjadi jauh lebih kompleks, terutama saat manasik di lokasi padat seperti Masjidil Haram, Arafah, dan Mina.

Selain itu, muncul persoalan ketimpangan pelayanan antar syarikah. Ada jamaah yang mendapat hotel bintang empat lengkap dengan sajian prasmanan, sementara lainnya tinggal di hotel kecil dengan menu terbatas. Padahal, mereka berasal dari kloter dan bahkan kabupaten yang sama. Situasi ini menimbulkan pertanyaan soal keadilan dan transparansi layanan haji.

Kementerian Agama menyadari polemik ini dan telah menyampaikan keberatan kepada otoritas haji Arab Saudi. Meski begitu, karena sistem syarikah merupakan kebijakan penuh pemerintah Saudi, ruang negosiasi Indonesia terbatas. Pemerintah berjanji akan terus mendorong agar satu kloter dikelola oleh satu syarikah pada musim haji berikutnya.

Di sisi lain, jamaah mulai membangun solidaritas baru dalam kondisi yang serba terbatas. Banyak yang membentuk kelompok kecil baru di hotel masing-masing, saling menjaga dan mengingatkan satu sama lain. Semangat gotong royong, meski tidak dalam kerangka kloter utuh, tetap muncul secara spontan dan menjadi penopang utama kenyamanan ibadah.

Beberapa jamaah mengaku awalnya kecewa karena tidak bisa bersama rombongan, namun kemudian menyadari bahwa ini adalah ujian tambahan dalam beribadah. “Mungkin ini cara Allah mengajarkan kita makna kemandirian dan kesabaran,” ujar Shobihis jamaah asal Bandung, yang ditempatkan terpisah dari keluarganya.

Adaptasi menjadi kunci utama. Pemerintah mendorong jamaah untuk aktif menggunakan aplikasi digital haji, menghubungi petugas bila ada kendala, dan tetap menjalin komunikasi lintas hotel. Pelatihan manasik ke depan juga perlu diperkuat agar jamaah siap menghadapi berbagai skenario pelayanan.

Pada akhirnya, haji bukan hanya soal ritual ibadah, tapi juga soal bagaimana kita bertahan, beradaptasi, dan menjaga semangat kebersamaan dalam situasi yang menantang. Kebijakan syarikah mungkin akan terus berkembang, namun nilai-nilai solidaritas dan persaudaraan jamaah Indonesia tetap menjadi kekuatan yang tidak boleh luntur di Tanah Suci. 28/05/2025 [h.mtq]


Lainnya

Cookie Consent


Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda di situs ini. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.

Terima & Lanjutkan

Perlu informasi lebih lanjut? Kebijakan Privasi – atau – Kebijakan Cookie dan GDPR