Haji 2025: Satu Kloter, Banyak Maktab – Dampak Syarikah Bagi Kebersamaan Jamaah Menjadi Terpecah Oleh: [muttaqien]

  • Assalaam
  • H. Muttaqien
  • 10
...

Musim haji tahun 2025 datang dengan wajah baru. Pemerintah Arab Saudi memperluas penerapan sistem syarikah, sebuah skema manajemen haji yang menyerahkan pelayanan akomodasi, konsumsi, transportasi, hingga bimbingan manasik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang telah ditunjuk. Sistem ini digadang-gadang sebagai upaya modernisasi tata kelola ibadah haji agar lebih efisien dan profesional. Namun, bagi jamaah Indonesia yang terbiasa dengan sistem kolektif dan kebersamaan satu kloter dalam satu hotel atau maktab, kebijakan ini membawa konsekuensi besar. Banyak dari mereka yang berangkat dalam satu rombongan kini harus menerima kenyataan bahwa mereka akan tinggal terpisah di maktab atau hotel yang berbeda, tergantung pada syarikah yang mengelola mereka. Hal ini menimbulkan berbagai reaksi, mulai dari kebingungan, kekecewaan, hingga keresahan akan pelaksanaan ibadah yang lebih individualistis.

Perubahan Besar dalam Mekanisme Haji

Sebelumnya, jamaah haji Indonesia yang tergabung dalam satu kloter (kelompok terbang) biasanya menginap di satu hotel dan berkegiatan bersama—mulai dari manasik, perjalanan menuju Arafah, Mina, dan Muzdalifah, hingga bimbingan ibadah harian. Kehadiran pembimbing ibadah, tenaga medis, dan petugas kloter yang menyatu secara fisik dengan jamaah menjadi bagian penting dari sistem perlindungan dan pelayanan.

Namun pada Haji 2025, skema syarikah memecah sistem itu. Satu kloter bisa saja terbagi ke beberapa hotel dan maktab yang berbeda, tergantung pada perusahaan penyedia layanan yang ditunjuk. Pemerintah Indonesia memang berupaya menyatukan jamaah dalam kloter yang sama ke dalam syarikah yang sama, namun dalam praktiknya, keterbatasan kapasitas dan teknis menyebabkan terjadinya pemisahan.

Dampak Terhadap Kebersamaan dan Pelayanan

Kebersamaan adalah kekuatan utama dalam ibadah haji, terutama bagi jamaah lansia atau mereka yang pertama kali ke luar negeri. Ikatan satu kloter memberikan rasa aman, kekeluargaan, dan koordinasi yang kuat, terutama saat puncak haji di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armuzna), di mana koordinasi logistik dan pendampingan sangat krusial.

Dengan terpecahnya jamaah ke berbagai hotel dan maktab, koordinasi menjadi lebih rumit. Petugas kloter kesulitan menjangkau seluruh jamaah, terutama yang tersebar di lokasi-lokasi berbeda. Pelayanan kesehatan, konsumsi, dan ibadah juga tidak lagi seragam, menimbulkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan antarjamaah.

Selain itu, kegiatan kolektif seperti manasik dan tausiyah menjadi berkurang intensitasnya. Banyak jamaah mengeluhkan kehilangan semangat kebersamaan, karena tidak lagi merasa menjadi bagian dari satu komunitas besar.

Cerita dari Lapangan

Pak Ahmad, seorang jamaah asal Jawa Tengah yang berangkat bersama istri dan kelompok pengajian masjidnya, mengaku kecewa ketika mengetahui bahwa ia ditempatkan di hotel berbeda dari rombongannya.

“Kami berangkat bareng, ikut manasik bareng, tapi sesampainya di Mekkah kami dipisah. Rasanya sedih. Apalagi ibu-ibu bingung harus saling cari dan akhirnya ibadah jadi tidak tenang,” ungkapnya.

Petugas kloter pun mengaku kewalahan. Koordinasi dengan berbagai syarikah yang memiliki sistem dan standar pelayanan berbeda-beda membuat mereka harus bekerja ekstra keras.

“Dulu, kami tinggal kumpulkan jamaah di lobi hotel untuk pengarahan. Sekarang kami harus ke beberapa hotel, waktu habis di jalan,” kata salah satu petugas haji non-kloter.

Pemerintah dan Harapan Penyesuaian

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama menyadari tantangan ini. Mereka telah mengajukan usulan kepada Pemerintah Arab Saudi agar jamaah Indonesia dalam satu kloter dapat dikelola oleh satu syarikah dan ditempatkan di lokasi yang berdekatan. Namun, karena sistem e-Hajj yang dikelola Arab Saudi bersifat sentralistik dan terintegrasi langsung dengan syarikah, ruang negosiasi menjadi terbatas.

Meski demikian, pemerintah berharap masyarakat dapat memahami bahwa sistem syarikah ini adalah bagian dari kebijakan Arab Saudi dalam reformasi besar-besaran di sektor haji dan umrah. Pemerintah Indonesia pun terus melakukan evaluasi untuk menyesuaikan kebijakan domestik agar sejalan dengan sistem baru ini tanpa mengorbankan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi ciri khas jamaah Indonesia.

Refleksi dan Jalan ke Depan

Perubahan selalu menuntut adaptasi. Meski sistem syarikah menimbulkan keterpecahan dalam satu kloter, tantangan ini bisa menjadi momen refleksi untuk memperkuat semangat ukhuwah yang tidak hanya bersandar pada kebersamaan fisik, tetapi juga pada nilai-nilai solidaritas, tolong-menolong, dan saling mendukung sebagai sesama tamu Allah.

Solusi ke depan mungkin terletak pada penguatan teknologi komunikasi antarmajemuk jamaah, pemetaan risiko sosial dalam pembagian maktab, dan penguatan peran petugas kloter yang kini harus lebih fleksibel dan proaktif dalam menjangkau jamaah yang tersebar.

Pada akhirnya, Haji adalah perjalanan spiritual pribadi sekaligus kolektif. Tantangan yang muncul bukan hanya soal jarak fisik, tetapi bagaimana jamaah Indonesia tetap bisa memelihara semangat kebersamaan di tengah sistem yang berubah.


Lainnya

Cookie Consent


Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda di situs ini. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.

Terima & Lanjutkan

Perlu informasi lebih lanjut? Kebijakan Privasi – atau – Kebijakan Cookie dan GDPR