Benang Hitam dan Putih di Bawah Bantal: Kisah Kebingungan Para Sahabat dalam Memahami Batasan Waktu Berpuasa Oleh: Ahmad Rofi’ Usmani

  • Assalaam
  • H. Muttaqien
  • 31
...

Ketika puasa di bulan Ramadhan pertama kali diwajibkan kepada kaum Muslim pada Sya’ban 2 Hijriah, Bulan Suci ini segera menjelma menjadi momen yang dinanti-nanti. Para sahabat Rasulullah Saw. pun menyambutnya dengan penuh semangat dan antusiasme. Mereka berusaha menjaga diri agar dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk dan tepat waktu. Ya, tepat waktu!

Namun, pada awal diwajibkannya puasa, batas-batas waktu ibadah ini belum sepenuhnya jelas seperti kini. Kapan tepatnya mereka harus mulai berpuasa dan kapan mereka diperbolehkan berbuka? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di benak mereka, menciptakan kebingungan yang akhirnya terjawab dengan turunnya ayat Alquran berikut:

Diperkenankan bagi kalian di malam hari puasa,

bergaul intim dengan isteri kalian.

Mereka adalah pakaian kalian

dan kalian adalah pakaian bagi mereka.

Allah tahu bahwa kalian taksanggup menahan

(nafsu seksual) kalian,

maka Allah menerima taubat kalian

dan memaafkan kalian.

Maka, sekarang, gaulilah mereka dan usahakanlah

apa yang Allah tentukan untuk kalian.

Dan makanlah dan minumlah

hingga jelas bagi kalian garis putih

dari benang yang hitam.

(QS al-Baqarah [2]: 187)

Ayat ini turun sebagai penjelasan tentang batas waktu berpuasa. Yaitu, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun, pemahaman para sahabat tentang “benang putih” dan “benang hitam” dalam ayat ini sempat menimbulkan kebingungan. Mereka mencoba menafsirkan ayat tersebut secara harfiah. Sehingga, kemudian lahir kisah-kisah yang sarat hikmah.

Adiy bin Hatim, misalnya, seorang sahabat yang dikenal dengan ketulusan dan kecerdasannya, memahami makna “benang putih” dan “benang hitam” secara konkret. Ia berpikir, "Jika Allah menyebut benang putih dan benang hitam, tentu ada makna fisik yang dapat kulihat." Maka, dengan penuh semangat, ia menyiapkan dua benang: satu hitam dan satu putih. Dua benang itu kemudian ia letakkan di bawah bantalnya. Dengan cara demikian, ia berharap dapat melihat perbedaan antara keduanya sebagai tanda dimulainya waktu puasa.

Sepanjang malam, Adiy bin Hatim tak jemu-jemunya memandangi kedua benang itu. Matanya seakan tak pernah lepas dari benang hitam dan putih itu, berharap dapat melihat perbedaan yang jelas. Namun, semakin malam beranjak, semakin ia kebingungan. Hingga fajar tiba, ia tetap tidak dapat membedakan benang hitam dari benang putih. “Apa yang salah?” tanyanya dalam hati. Ia merasa gagal memahami petunjuk Allah Swt. lewat ayat Alquran itu.

Sementara itu, sahabat-sahabat lain mencoba cara yang berbeda. Beberapa dari mereka mengikatkan benang hitam dan putih pada kaki mereka. Mereka berpikir, "Jika kami dapat melihat perbedaan antara kedua benang ini, maka itulah saatnya kami berhenti makan dan minum." Mereka pun tetap makan dan minum hingga mereka merasa dapat membedakan kedua benang tersebut. Namun, seperti halnya Adiy bin Hatim, mereka juga kebingungan. Benang hitam dan putih tetap terlihat sama. Tiada perbedaan yang jelas.

Keesokan harinya, para sahabat pun mendatangi Rasulullah Saw. untuk menceritakan apa yang telah mereka lakukan. Dengan wajah penuh tanya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah. Kami telah mencoba memahami ayat tentang benang putih dan benang hitam itu. Namun, kami kebingungan. Bagaimana seharusnya kami menafsirkannya?”

Mendengar penuturan mereka, Rasulullah Saw. tertegun sejenak. Beliau kemudian tersenyum, memahami ketulusan dan kesungguhan para sahabatnya. Dengan penuh kebijaksanaan, beliau pun menjelaskan, “Sahabat-sahabatku. Yang dimaksud dengan benang hitam adalah gelapnya malam. Sedangkan benang putih adalah terangnya siang.”

Penjelasan Rasulullah Saw. ini menjadi titik terang bagi para sahabat. Mereka pun tersadarkan bahwa ayat tersebut menggunakan metafora untuk menggambarkan peralihan antara malam dan siang. Bukan benang fisik yang harus mereka lihat, melainkan tanda-tanda alam yang telah Allah Swt. ciptakan.

Tak lama kemudian, turun lanjutan ayat tersebut:

di waktu fajar.

Kemudian, sempurnakanlah puasa hingga malam (tiba).

Dan janganlah gauli (isteri-isteri kalian)

ketika kalian beri‘tikaf di masjid.

Itulah ketentuan-ketentuan Allah,

maka jangan dekati dia.

Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya,

kepada manusia, agar mereka bertakwa.

(QS al-Baqarah [2]: 187)

Kisah ini bukan sekadar cerita historis. Kisah ini mengandung pelajaran mendalam tentang bagaimana manusia memahami petunjuk Ilahi. Tindakan Adiy bin Hatim dan sahabat-sahabatnya mencerminkan ketulusan dan kesungguhan dalam menjalankan perintah Allah Swt., meski sempat keliru dalam menafsirkannya. Sementara Rasulullah Saw., dengan kebijaksanaannya, lewat penjelasan yang mencerahkan, menunjukkan bahwa Alquran kerap menggunakan metafora dan simbol-simbol yang perlu dipahami secara mendalam.

Imam Abu Hamid al-Ghazali, dalam Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, mengingatkan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran memerlukan ketajaman hati dan pikiran. Beliau menekankan pentingnya tafakkur (perenungan) dalam memahami makna-makna spiritual yang terkandung dalam Alquran. Sementara Karen Armstrong, dalam bukunya Muhammad: A Biography of the Prophet, mencatat bahwa kisah-kisah seperti ini menunjukkan betapa Rasulullah Saw. adalah seorang pendidik yang sabar dan penuh kasih. Beliau tidak pernah memarahi sahabat-sahabatnya yang keliru. Sebaliknya, beliau selalu memberikan penjelasan yang menenangkan dan mencerahkan.

Kisah benang hitam dan putih di bawah bantal mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kesabaran, ketelitian, dan kerendahan hati dalam memahami petunjuk Allah Swt. Terkadang, kita mungkin keliru dalam menafsirkan sesuatu. Namun, yang terpenting adalah kesediaan kita untuk belajar dan memperbaiki diri. Bulan Ramadhan, dengan segala keistimewaannya, adalah saat yang tepat untuk merenungkan hal ini. Mari kita jadikan Bulan Suci ini sebagai momentum untuk membersihkan hati, memperdalam pemahaman, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Kiranya demikian!


Artikel Lainnya