TETAP MEMBIMBING DI TENGAH PERPECAHAN: TANTANGAN DAN DEDIKASI PARA PEMBIMBING IBADAH HAJI 2025

  • Assalaam
  • H. Muttaqien
  • 8
...

Musim Haji 2025 membawa angin perubahan besar dalam penyelenggaraan ibadah haji. Salah satu perubahan paling signifikan adalah diterapkannya sistem syarikah oleh Pemerintah Arab Saudi. Sistem ini, yang menyerahkan pengelolaan layanan jamaah kepada perusahaan-perusahaan swasta lokal, telah mengubah pola pengelompokan jamaah haji yang selama ini tertib berdasarkan kloter (kelompok terbang). Sebelumnya, jamaah dari satu kloter akan tinggal di hotel yang sama, berangkat dan beribadah bersama, serta dilayani oleh satu tim petugas, termasuk pembimbing ibadah. Kini, dengan sistem syarikah, jamaah satu kloter bisa ditempatkan di hotel yang berbeda, dilayani oleh syarikah berbeda, dan bahkan mendapatkan fasilitas yang tidak seragam. Ini bukan sekadar perubahan administratif, melainkan perubahan mendasar yang berdampak pada dinamika sosial dan spiritual jamaah. Di tengah kondisi itu, para pembimbing ibadah haji Indonesia menghadapi tantangan yang luar biasa. Mereka yang biasa memberikan ceramah, membimbing manasik, dan menjawab pertanyaan langsung jamaah, kini harus berkeliling dari satu hotel ke hotel lain untuk sekadar memastikan bahwa bimbingan ibadah tetap berjalan. Bukan hanya tenaga, tapi waktu dan fokus mereka terkuras jauh lebih banyak dibanding musim-musim sebelumnya. Namun, di balik semua itu, muncul satu pesan penting: pembimbing ibadah tak boleh menyerah. Terpisahnya jamaah bukan alasan untuk mengendurkan semangat pelayanan. Justru, dalam kondisi tidak ideal seperti ini, kehadiran pembimbing menjadi jauh lebih penting dan ditunggu. Jamaah yang bingung, kesepian, bahkan mulai khawatir atas kondisi peribadahannya, sangat membutuhkan ketenangan, arahan, dan bimbingan spiritual yang menenangkan hati. Tantangan teknis tidak bisa dihindari. Tidak semua hotel memiliki ruang pertemuan, tidak semua jamaah dapat dikumpulkan dalam waktu bersamaan. Namun, pembimbing tetap bisa menyiasatinya: mengadakan bimbingan dalam kelompok kecil, memanfaatkan media digital untuk ceramah daring, hingga berkeliling secara personal dari kamar ke kamar. Semua bentuk pelayanan itu menjadi bagian dari jihad pelayanan yang tidak ternilai. Sayangnya, hingga kini belum ada skema resmi dari pemerintah Indonesia yang memberikan dukungan operasional tambahan bagi pembimbing ibadah dalam sistem syarikah ini. Mobilitas tinggi, waktu kerja yang panjang, hingga potensi kelelahan mental jarang mendapat perhatian. Padahal, mereka adalah garda terdepan dalam menjaga kualitas ibadah jamaah Indonesia di tengah sistem yang tercerai-berai. Kementerian Agama RI semestinya menyadari bahwa pembimbing ibadah bukan hanya pelengkap formalitas. Mereka adalah pemelihara ruh spiritual ibadah haji. Maka dibutuhkan kebijakan yang memperkuat peran mereka: mulai dari pemetaan ulang hotel berdasarkan keberadaan petugas, penguatan pelatihan adaptif menghadapi sistem syarikah, hingga pemberian fasilitas transportasi dan komunikasi yang layak. Meski sistem syarikah mungkin akan terus diberlakukan oleh Arab Saudi, Indonesia bisa menjadi pelopor dalam menyusun pendekatan pelayanan yang manusiawi dan berorientasi ibadah. Pembimbing ibadah seharusnya diposisikan bukan sebagai korban kebijakan, tetapi sebagai agen adaptif yang mampu menjembatani kesenjangan antara sistem baru dan kebutuhan spiritual jamaah. Pada akhirnya, dalam kondisi apapun, nilai-nilai pengabdian dan keikhlasan harus tetap menjadi fondasi. Sebagaimana haji adalah perjalanan spiritual menuju keikhlasan tertinggi, begitu pula tugas pembimbing ibadah—menjadi penerang di tengah terpecahnya rombongan, penyejuk dalam kegelisahan, dan penuntun dalam perjalanan menuju kemabruran. 29/05/2025 :00.10 [h.mtq]

Lainnya

Cookie Consent


Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda di situs ini. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.

Terima & Lanjutkan

Perlu informasi lebih lanjut? Kebijakan Privasi – atau – Kebijakan Cookie dan GDPR