Aku Rindu Kepadamu, Ya Rasul! Refleksi dalam Tadarus Sirah Nabawiyah Oleh: Ahmad Rofi' Usmani

  • Assalaam
  • H. Muttaqien
  • 15
...

Wulida-l-hudâ fa-l-kâ’inâtu dhiyâ’u Wa fammu-z-zamâni tabassumun wa tsanâ’u A-r-rûhu wa-l-mala’u-l-malâ’iku haulahu Li-d-dîn-i wa-d-dunyâ bihi busyrâ’u Wa-l-‘arsyu yazhû wa-l-hadzîratu tazdahî Wa-l-muntaha wa-d-durratu-l-‘ashmâ’u Telah lahir sang Nabi, pembawa petunjuk nan cemerlang. Semesta alam pun berpendar sangat benderang. Mulut zaman tiada henti dan senantiasa menggemakan Senyuman, pujian, serta sanjungan.

Jibril dan para malaikat pun mengitarinya senantiasa

Karena berita gembira ‘tuk agama dan dunia sertai kelahirannya

Arasy bangga dan surga tak kalah ceria

Sidrah Al-Muntaha dan Mutiara Putih pun berdendang ria

Ahmad Syauqi

Seorang penyair terkemuka Mesir (1287-1351 H/1870-1932 M)

“DUH RASULULLAH. Maafkan umatmu yang satu ini. Lama, saya tidak sowan dan menyapamu!”

Entah kenapa, tadi dini hari, sekitar pukul dua dini hari, tiba-tiba saya terbangun dari tidur pulas. Entah kenapa pula, begitu bangun, saya teringat dan sangat kangen dengan Rasulullah Saw. Lebih dari tiga tahun saya tidak sowan kepada beliau. Yang lebih parah, lama saya tidak menyapa alias menulis tentang beliau. Padahal, saya pernah menulis dan menyunting sederet buku tentang beliau. “Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alaih,” gumam pelan bibir saya kemudian.

Sejenak, saya kemudian tercenung dan termenung. Tiba-tiba, benak saya “melayang-layang”. Jauh. Ya, melayang-layang jauh, ke Makkah Al-Mukarramah, teringat kedatangan saya istri ke tempat kelahiran Rasulullah Saw. Beberapa tahun yang silam.

Di sore yang cerah hari itu, selepas melaksanakan shalat asar di Masjid Al-Haram, saya bersama istri dan putri sulung saya serta sejumlah jamaah Indonesia yang akan menunaikan ibadah haji di musim haji tahun itu meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Tempat yang terletak di sebelah timur pelataran masjid itu kini disebut Maulid Al-Nabiy. Selepas keluar dari Pintu Raja Abdul Aziz, kami kemudian berjalan pelan mengitari Masjid Al-Haram, yang telah penuh dengan calon jamaah haji dari pelbagai negara dan bangsa. Selepas mengitari masjid dan mas‘â (tempat melaksanakan sa‘i) yang kala itunsedang diperluas, di sebelah timur pelataran masjid itu kami mendapatkan sebuah bangunan sederhana dan di atas bangunan tersebut terdapat billboard besar dengan tulisan “Maktabah Makkah Al-Mukarramah” (Perpustakaan Makkah Al-Mukarramah).

Dahulunya Pernah Tegak Sebuah Masjid

Sebelum perpustakaan itu (kala itu tanpa kegiatan) tegak, sejatinya di lokasi itu pernah berdiri sebuah masjid yang dibangun seorang perempuan rupawan nan berotak cemerlang yang tak lain adalah permaisuri Al-Mahdi, penguasa ketiga Dinasti Abbasiyyah di Irak, yang dikenal dengan nama Al-Khaizuran (yang secara harfiah berarti “bambu”, tanaman yang menurut orang-orang Arab melambangkan kecantikan dan keluwesan) binti Atha’ Al-Khurasyiyah. Masjid itu kini telah tiada karena diruntuhkan. Kemudian, pada 1370 H/1950 M, sebagai gantinya di lokasi yang sama dibangun sebuah perpustakaan oleh Syeikh Abbas Qaththan.

Al-Khaizuran sendiri semula adalah seorang budak asal Yaman dengan nama asli Jurasy yang dibawa ke Makkah oleh seorang suku Arab Badui dan dijual di sana. Dari pasar budak itu, perjalanan hidupnya akhirnya mengantarkannya bertemu dengan Abu Ja‘far Al-Manshur, penguasa kedua Dinasti Abbasiyyah. Selepas dimerdekakan sang khalifah, yang terpesona oleh kecantikan dan kecemerlangan otaknya, ia kemudian, pada 159 H/775 M, dinikahkan dengan putra sang khalifah, Muhammad, yang kelak menjadi penguasa ketiga dinasti tersebut dengan gelar Al-Mahdi.

Pasangan suami-istri ini dikaruniai dua putra: Musa, yang setelah menjabat penguasa keempat Dinasti Abbasiyah (memerintah antara 169-170 H/785-786 M) bergelar Al-Hadi, dan Harun, yang setelah naik ke pentas kekuasaan sebagai penguasa kelima dinasti tersebut (memerintah antara 170-194 H/786-809 M) bergelar Al-Rasyid. Perempuan yang berpengetahuan luas tentang hukum Islam dan berpulang kepada Sang Pencipta pada 170 H/789 M ini terkenal dermawan dan dikenal pernah mendirikan Dar Al-Khaizuran di Makkah.

Nabi Saw. Tak Lama di Rumah Kelahiran

Ketika berada di dekat bangunan “Perpustakaan Makkah Al-Mukarramah” itu, tiba-tiba terbayangkan oleh saya bagaimana resah dan gelisahnya ibunda Rasulullah Saw., Aminah binti Wahb, selama berbulan-bulan dengan penuh harap dan cemas menyambut kelahiran janin yang sedang dikandungnya di rumah itu. Tak lama selepas lahir pada hari Senin, 12 Rabi‘ Al-Awwal tahun Gajah atau 21 April 570 M., beliau sejatinya tak lama berada di rumah kelahiran itu. Sebab, tak lama selepas itu beliau dibawa Halimah binti Abu Dzu’aib Al-Sa‘diyah yang, menurut Dr. Syauqi Abu Khalil, dalam karyanya Athlas Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, bermukim di sekitar Hudaibiyah (kini disebut Syumaisi, terletak sekitar dua puluh empat kilometer sebelah barat kota Makkah ke arah Jeddah).

Dengan kata lain, Rasulullah Saw. tak lama menempati rumah itu selepas lahir. Beliau baru kembali menikmati rumah selepas pulang dari pengasuhan Halimah Al-Sa‘diyah tersebut. Kala itu, beliau berusia sekitar enam tahun. Dan, sekitar tiga tahun kemudian, selepas berpulangnya kakek tercinta beliau, Abdul Muththalib bin Hasyim, beliau kemudian pindah ke rumah pamanda tercinta beliau, Abu Thalib bin Abdul Muththalib, yang terletak di kaki Jabal Abi Qubais.

Walau tak lama menempati rumah kelahiran itu, rumah yang tak terbayangkan bagaimana kondisinya kala itu sejatinya menjadi saksi kelahiran Muhammad bin Abdullah. Itulah seorang Rasul dan Nabi terakhir yang, menurut Michael H. Hart dalam karyanya The 100, a Ranking of the Most Influential Persons in History, “memainkan peranan yang jauh lebih penting dalam pengembangan Islam ketimbang peranan Nabi ‘Isa terhadap agama Nasrani.”

Kemudian, ketika saya berdiri membelakangi gedung perpustakaan tersebut dan menghadap ke arah Masjid Al-Haram, pandangan saya tanpa sadar tertuju ke arah Pintu Nabi (Bâb Al-Nabî) yang terletak di sebelah Pintu Al-Salam (Bâb Al-Salâm) yang sedang dipugar. Begitu pandangan terarah ke Pintu Nabi tersebut, entah kenapa tiba-tiba dalam benak saya bergejolak kesadaran bahwa di situ pernah tegak sebuah rumah yang sangat besar perannya dalam sejarah Islam. Ya, sangat besar perannya dalam sejarah Islam! Lo?

Ini karena rumah yang kini tiada sama sekali sisanya itu pernah menjadi saksi dalam waktu yang cukup lama, sekitar dua puluh delapan tahun, kisah perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah Saw. Rumah itu tak lain adalah rumah yang beliau tempati bersama istri teladan beliau, Khadijah binti Khuwailid. Sebelum menikah dengan beliau, seperti tercatat dalam torehan emas sejarah Islam, Khadijah menempati sebuah rumah yang terletak di lereng Jabal Khalifah (kini disebut Jabal Qal‘ah), di pintu masuk terowongan yang menghadap ke Pintu Raja Abdul Aziz. Rumah ini kemudian dihadiahkan kepada putri sulung mereka, Zainab binti Muhammad, ketika menikah dengan Abu Al-Ash bin Al-Rabi‘ bin Abdul Uzza.

Menurut Dr. Muhammad Abduh Yamani, dalam karyanya Khadîjah binti Khuwailid, Sayyidah fi Qalb Al-Mushthafâ Saw. di rumah yang sebelum dibeli Rasulullah Saw. milik Hakim bin Hizam bin Khuwailid itulah “Khadijah r.a. melahirkan semua putra-putri Nabi Saw. Di situ pulalah Khadijah berpulang. Dan, dari rumah ini pulalah Rasul Saw. bertolak untuk berhijrah.”

Mantan menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi itu lebih lanjut menyatakan, “rumah inilah yang memancarkan cahaya Islam dan memendari panji-panji kaum Muslim. Rumah yang menjadi saksi laju gerakan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Rumah tempat Jibril Al-Amin berulangkali mendatangi Thaha (Muhammad) Al-Amin dan menurunkan wahyu tujuh ayat Surah Al-Fatihah dan (beberapa ayat) Alquran. Rumah yang beliau tinggali selama tiga belas tahun mengajak manusia menuju tauhîd (keesaan Tuhan) dan meninggalkan paganisme. Dari rumah inilah Rasulullah Saw. mendeklarasikan diri beliau, kepada bangsa Quraisy dan seluruh umat manusia, bahwa beliau adalah utusan Tuhan semesta alam; dari rumah inilah Rasulullah Saw. bangkit untuk menyampaikan risalah kepada bangsa Quraisy dan seluruh umat manusia. [...] Lebih dari sepertiga surah-surah Alquran turun di rumah ini.”

Menjadi Bagian dari Pelataran Timur Masjid Al-Haram

Tak terasa kepala saya tiba-tiba menunduk sedih dengan hati yang pedih dan perih, karena menyadari bahwa rumah yang disebut Rumah Wahyu (Dâr Al-Wahy) yang besar perannya dalam sejarah Islam itu kini tiada sama sekali bekasnya dan telah menjadi bagian dari pelataran timur Masjid Al-Haram. Rasulullah Saw. sendiri, sebelum menempati rumah yang dipandang sebagai bangunan termulia ketiga di Makkah (setelah Ka‘bah dan Masjid Al-Haram) itu, tinggal di rumah Abu Thalib bin Abdul Muththalib yang terletak tak jauh dari situ, di sebelah kanan rumah Rasulullah Saw. selepas menikah tersebut, di kaki Gunung Abu Qubais (kini di atasnya tegak sebuah bangunan megah milik Kerajaan Arab Saudi).

Tentu dapat dibayangkan, dari ketiga rumah tersebut yang terletak tak jauh dari Ka‘bah, dengan koordinat geografi: 21°25'29.748" LU, 39°49'47.726" BT, Rasulullah Saw. sejak kecil dapat menyaksikan bagaimana perilaku sehari-hari kaum musyrik Makkah dan ketika mereka sedang beribadah di seputar Ka‘bah, antara lain ketika mereka mengadakan perayaan besar-besaran dan pemberian sesaji sebagai penghormatan terhadap Patung Buwanah yang sangat diagungkan kaum musyrik Makkah dan berbagai tindakan menyimpang lain yang mereka lakukan di seputar Ka‘bah. Oleh karena itu, dapat dibayangkan pula bagaimana keresahan, kegelisahan, dan ketidaknyamanan beliau ketika menyaksikan, dengan mata beliau dari dekat, perilaku kaum musyrik Makkah yang menyimpang dari ajaran-ajaran agama yang lurus yang diajarkan oleh nenek moyang mereka: Nabi Ibrahim a.s.

Rumah Wahyu (Dâr Al-Wahy) yang kemudian dijual Aqil bin Abu Thalib kepada Mu‘awiyah bin Abu Sufyan selepas beliau berhijrah. Kini, rumah yang besar perannya dalam sejarah Islam itu tiada sama sekali bekasnya dan telah menjadi bagian dari pelataran timur Masjid Al-Haram. Rasulullah Saw. sendiri, sebelum menempati rumah yang dipandang sebagai bangunan termulia ketiga di Makkah (setelah Ka‘bah dan Masjid Al-Haram) itu, tinggal di rumah Abu Thalib bin Abdul Muththalib yang terletak tak jauh dari situ, di sebelah kanan rumah Rasulullah Saw. selepas menikah tersebut, di kaki Gunung Abu Qubais (kini di atasnya tegak sebuah istana yang didirikan Kerajaan Arab Saudi).

Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alaih! Ya Allah. Kiranya shalawat, salam dan barakah senantiasa dikaruniakan kepada Rasulullah Saw. Aku rindu kepadamu, ya Rasul!@ru

الفاتحة. ...

Artikel Lainnya