Qadha Shalat: Pengertian, Tata Cara, dan Niatnya

  • Assalaam
  • H. Muttaqien
  • 11
...

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat muslim. Namun, terkadang seseorang dapat terlupa atau terhalang dalam melaksanakan shalat pada waktu yang telah ditentukan. Banyak orang mungkin pernah mengalami kejadian di mana mereka melewatkan waktu shalat karena berbagai hal, seperti terlambat bangun tidur, sibuk bekerja, atau terjebak dalam kemacetan. Namun, sebagai seorang Muslim, menjaga kewajiban shalat tetap harus dilakukan meskipun terlewat waktu pelaksanaannya. Lantas, bagaimana cara menqqadhanya?

Apa Itu Qadha Shalat?

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, sejak disyariatkan pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj, dalam sehari seorang Muslim diwajibkan untuk melaksanakan shalat fardlu sebanyak lima kali. Kewajiban yang mengikat setiap individu ini tidak bisa diwakilkan ataupun ditinggalkan. Bagi yang telah meninggalkan shalat, maka syariat Islam menuntut orang tersebut untuk melaksanakan qadha shalat.

Sebelum menjelaskan bagaimana tata cara mengqadha shalat, terlebih dahulu kita akan membahas apa itu qadha. Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam Kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhabi Imam al-Syafi’i menjelaskan qadha shalat sebagai berikut:

وأما القضاء: فهو تدارك الصلاة بعد خروج وقتها أو بعد أن لا يبقى من وقتها ما يسع ركعة فأكثر وإلا فهي أداء

Artinya: Adapun qadha (dalam shalat) ialah melaksanakan shalat sesudah habisnya waktu, atau sesudah waktu yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan satu rakaat atau lebih. Kondisi sebaliknya disebut adâ’ (Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhabi Imam al-Syafi’i, [Surabaya: Al-Fithrah, 2000], Juz I, halaman 110). Dari keterangan di atas bisa kita simpulkan bahwa jika shalat dilaksanakan di dalam waktunya disebut sebagai adâ’ dan jika dilaksanakan di luar waktunya maka disebut qadha. Menurut al-Khin dan al-Bagha, ada dua macam qadha yakni:

وقد اتفق جمهور العلماء من مختلف المذاهب على أن تارك الصلاة يكلف بقضائها سواء تركها نسياناً أم عمداً مع الفارق التالي: وهو أن التارك لها بعذر كنسيان أو نوم لا يأثم ولا يجب عليه المبادرة إلى قضائها فوراً أما التارك لها بغير عذر- أي عمداً - فيجب عليه - مع حصول الإثم - المبادرة إلى قضائها

Artinya: Mayoritas ulama sepakat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat dituntut untuk mengqadhanya, ia meninggalkannya secara sengaja ataupun tidak, perbedaannya adalah jika ia meninggalkan shalat karena udzur, baik lupa ataupun tidur maka ia tidak berdosa juga tak wajib segera mengqadhanya. Sedangkan bagi yang meninggalkannya dengan sengaja, maka ia terkena dosa dan dituntut segera mengqadhanya. Baca Juga Bisakah Mengganti Shalat yang Ditinggalkan Pada Masa Lalu? Dengan demikian, lupa ataupun sengaja, shalat yang kita tinggalkan harus diqadha. Tidak ada cara khusus untuk mengganti shalat yang terlewat itu kecuali wajib sesegera mungkin mulai melaksanakannya untuk shalat yang ditinggalkan dengan sengaja tanpa udzur, dan boleh ditunda jika lantaran lupa, tertidur, atau udzur lainnya. Jumlah rakaat serta gerakan-gerakannya sama seperti shalat yang ditinggalkan itu.

Hal ini senada dengan dalil hadits riwayat Imam Bukhari Nomor 572:

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك

Artinya: Barangsiapa meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa, maka laksanakanlah shalat saat ia ingat. Tidak ada denda baginya kecuali hal tersebut.

Adapun tata cara menqadha shalat menurut Al-Qadhi Husain, Imam Al-Baghawi, Al-Mutawalli dan ulama lainnya.

Pertama, pendapat al-ashah atau yang dinilai lebih shahih, menyatakan yang menjadi standar dalam membaca keras atau lirih dalam shalat qadha adalah waktu qadhanya. Bila waktu qadhanya malam hari maka bacaan al-Fatihah dan bacaan surat tetap dibaca secara keras. Meskipun shalatnya adalah shalat Zuhur dan Ashar yang asalnya disunnahkan secara lirih. Sebaliknya bila waktu qadhanya siang hari maka bacaan-bacaan tersebut dilakukan secara lirih, meskipun shalatnya adalah shalat Maghrib, Isya, dan Subuh.

Kedua, pendapat muqâbilul ashah yang juga dinilai sebagai pendapat yang sahih menyatakan yang menjadi standar adalah waktu asal shalat tersebut. Bila shalat itu adalah Zuhur dan Ashar maka bacaan-bacaan tersebut tetap dibaca lirih meskipun diqadha pada waktu malam hari, dan bila shalatnya adalah Maghrib, Isya, dan Subuh maka bacaan-bacaan tersebut tetap dibaca keras meskipun diqadha pada waktu siang hari. Secara lengkap Imam An-Nawawi menjelaskan:

وَأَمَّا الْفَائِتَةُ فَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ اللَّيْلِ بِاللَّيْلِ جَهَّرَ بِلَا خِلَافٍ. وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ بِالنَّهَارِ أَسَرَّ بِلَا خِلَافٍ وَإِنْ قَضَى فَائِتَةَ النَّهَارِ لَيْلًا أَوِ اللَّيْلِ نَهَارًا فَوَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْقَاضِى حُسَيْنُ وَالْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَغَيْرُهُمْ. أَصَحُّهُمَا: أَنَّ الْاِعْتِبَارَ بِوَقْتِ الْقَضَاءِ فِي الْإِسْرَارِ وَالْجَهْرِ صَحَّحَهُ الْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّيُّ وَالرَّافِعِيُّ. وَالثَّانِيُّ: اَلْاِعْتِبَارُ بِوَقْتِ الْفَوَاتِ وَبِهِ قَطَعَ صَاحِبُ الْحَاوِي

Artinya: Adapun shalat fâ’itah atau yang keluar dari waktunya, maka (1) bila orang mengqadha shalat malam—Maghrib, Isya’, demikan pula Subuh meskipun sebenarnya waktunya adalah pagi—di waktu malam, maka ia sunnah membaca dengan bacaan keras tanpa perbedaan pendapat di antara ulama. (2) bila ia mengqadha shalat siang di waktu siang maka ia sunnah membaca dengan bacaan lirih tanpa perbedaan pendapat di antara ulama. Namun (3) bila ia mengqadha shalat siang di waktu malam, atau mengqadha shalat malam di waktu siang, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah yang dihikayatkan oleh Al-Qadhi Husain, Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli dan lainnya. (1) Pendapat al-ashah atau yang paling shahih menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu qadha terkait lirih dan kerasnya. Pendapat ini dinilai shahih oleh Imam al-Baghawi, Imam al-Mutawalli, dan Imam ar-Rafi’i. Adapun (2) pendapat kedua menyatakan, pertimbangannya dengan mengacu pada waktu yang terlewatkan atau waktu asalnya. Pendapat ini dipastikan oleh penulis Kitab Al-Hâwi, yaitu Imam al-Mawardi (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmû Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 390).

Kesimpulannya untuk shalat qadha, terkait bacaannya apakah keras atau lirih, terdapat dua pendapat. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengambil standar waktu qadhanya. Meskipun shalat Zuhur atau Ashar bila qadhanya dilakukan di malam hari maka sunnahnya adalah dengan suara keras. Pendapat ini lebih kuat di lingkungan ulama Syafi’iyah.

Tata Cara Mengqadha Shalat

Secara umum, tata cara mengqadha shalat tidak berbeda dengan tata cara shalat pada umumnya, yaitu dengan niat yang sesuai dengan jenis shalat yang akan dikerjakan. Berikut adalah beberapa pendapat mengenai bacaan dalam shalat qadha:

Bacaan Keras atau Lirih: Terdapat dua pendapat mengenai bacaan keras atau lirih dalam shalat qadha. Pendapat pertama mengatakan bahwa bacaan dalam shalat qadha disesuaikan dengan waktu pelaksanaan qadha. Jika dilakukan pada waktu malam, maka bacaan harus keras meskipun shalat yang diqadha adalah shalat siang seperti Zuhur atau Ashar. Sebaliknya, jika dilakukan pada waktu siang, maka bacaan dilakukan dengan lirih meskipun shalat yang diqadha adalah shalat malam seperti Maghrib, Isya, atau Subuh. Pendapat kedua berpegang pada waktu asal shalat tersebut. Misalnya, jika seseorang mengqadha shalat Zuhur pada malam hari, maka tetap membaca lirih sesuai dengan waktu asalnya.

Waktu Pelaksanaan Qadha: Sebagaimana disepakati oleh mayoritas ulama, yang paling utama adalah melakukan qadha shalat sesegera mungkin setelah seseorang ingat atau setelah terbangun dari tiduran. Tidak ada cara khusus dalam pelaksanaan shalat qadha kecuali melaksanakannya secara sempurna sesuai dengan jumlah rakaat dan gerakan-gerakan yang sama seperti shalat yang terlewatkan.

Niat Qadha Shalat

Niat merupakan bagian penting dalam setiap ibadah, termasuk dalam qadha shalat. Berikut adalah beberapa contoh niat qadha shalat:

Niat Qadha Shalat Subuh

اَصَلِّي فَرْضَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قَضَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

(Usholli fardhos subhi rok'ataini mustaqbilal qiblati qodho'an lillahi ta'ala)

Artinya: "Saya mengerjakan shalat fardhu Subuh dua rakaat menghadap kiblat sebagai qadha karena Allah Ta'ala."

Niat Qadha Shalat Dzuhur

اَصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قَضَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

(Usholli fardhoz zuhri arba'a roka'atin mustaqbilal qiblati qodho'an lillahi ta'ala)

Artinya: "Saya mengerjakan shalat fardhu Dzuhur empat rakaat menghadap kiblat sebagai qadha karena Allah Ta'ala."

Niat Qadha Shalat Ashar

اَصَلِّي فَرْضَ الْعَصْرِ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قَضَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

(Usholli fardhol 'ashri arba'a roka'atin mustaqbilal qiblati qodho'an lillahi ta'ala)

Artinya: "Saya mengerjakan shalat fardhu Ashar empat rakaat menghadap kiblat sebagai qadha karena Allah Ta'ala."

Niat Qadha Shalat Maghrib

اَصَلِّي فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكْعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قَضَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

(Usholli fardhol maghribi tsalatsa roka'atin mustaqbilal qiblati qodho'an lillahi ta'ala)

Artinya: "Saya mengerjakan shalat fardhu Maghrib tiga rakaat menghadap kiblat sebagai qadha karena Allah Ta'ala."

Niat Qadha Shalat Isya

اَصَلِّي فَرْضَ الْعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قَضَاءً لِلَّهِ تَعَالَى

(Usholli fardhol isya'i arba'a roka'atin mustaqbilal qiblati qodho'an lillahi ta'ala)

Artinya: "Saya mengerjakan shalat fardhu Isya empat rakaat menghadap kiblat sebagai qadha karena Allah Ta'ala."

Shalat Jumat bagi perempuan

Pada saat pelaksanaan shalat Jumat, di beberapa masjid di tanah air, kerap diikuti oleh jamaah perempuan. Mereka mengambil tempat khusus di dalam masjid, mendengarkan khutbah, serta mengikuti seluruh rangkaian prosesi shalat berjamaah dua rakaat tersebut hingga selesai. Umumnya shalat Jumat di sebagian besar masjid diikuti hanya oleh jamaah laki-laki. Kita tahu, shalat Jumat fardhu ‘ain dilaksanakan secara berjamaah bagi setiap laki-laki muslim mukallaf yang bukan musafir atau sedang ada halangan lain. Sementara bagi perempuan tidak.

Sebenarnya, apakah perempuan boleh mengikuti shalat Jumat di masjid? Dan apakah perempuan yang menunaikan shalat jumat masih harus tetap melaksanakan shalat Zuhur? Lalu, manakah yang lebih utama bagi mereka: shalat Zuhur berjamaah bersama wanita lain atau shalat jumat?

Para muktamirin saat itu menjawab, shalat Jumat bagi kaum wanita itu cukup sebagai pengganti shalat Zuhur, dan bagi kaum wanita tidak cantik, tidak banyak aksi, dan tidak bersolek itu sebaiknya ikut menghadiri shalat Jumat. Jawaban tersebut mengacu pada keterangan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin yang menyatakan:

مَسْأَلَةٌ: يَجُوْزُ لِمَنْ لاَ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ كَعَبْدٍ وَمُسَافِرٍ وَامْرَأَةٍ أَنْ يُصَلِّيَ الْجُمُعَةَ بَدَلاً عَنِ الظُّهْرِ وَتُجْزِئُهُ بَلْ هِيَ أَفْضَلُ لِأَنَّهَا فَرْضُ أَهْلِ الْكَمَالِ وَلاَ تَجُوْزُ إِعَادَتُهَا ظُهْرًا بَعْدُ حَيْثُ كَمُلَتْ شُرُوْطُهَا

Artinya: Diperkenankan bagi mereka yang tidak berkewajiban Jum’at seperti budak, musafir, dan wanita untuk melaksanakan shalat Jum’at sebagai pengganti dzuhur, bahkan shalat Jum’at lebih baik, karena merupakan kewajiban bagi mereka yang sudah sempurna memenuhi syarat dan tidak boleh diulangi dengan shalat dzuhur sesudahnya, sebab semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi secara sempurna (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, [Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M], halaman 78-79).

Dengan demikian, kaum perempuan yang sudah melaksanakan shalat Jumat tak perlu lagi menunaikan shalat Zuhur. Bahkan, perempuan lebih utama mengikuti jamaah shalat Jumat daripada shalat Zuhur meskipun berjamaah bersama perempuan lain, dengan syarat mereka bukan orang-orang yang potensial mengundang syahwat bagi kaum laki-laki, baik karena penampilannya maupun perilakunya.

Kesimpulan

Qadha shalat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim yang melewatkan shalat baik karena udzur ataupun tanpa alasan yang sah. Dalam pelaksanaannya, shalat qadha diikuti dengan niat yang sesuai, dan bacaan dalam shalat qadha bisa mengikuti pendapat yang menyesuaikan waktu pelaksanaannya atau waktu asal shalat tersebut. Adapun untuk perempuan, shalat Jumat adalah pengganti shalat Zuhur dan lebih utama untuk dilaksanakan jika memungkinkan

Artikel Lainnya