Dalam setiap perjalanan ruhani, selalu ada titik hening di mana seorang pencari tak lagi memerlukan suara manusia, hanya desah nafasnya sendiri dan gemuruh rindu yang menuntunnya. Di antara ribuan tapak kaki yang bersliweran di pelataran Masjid Nabawi, ada satu langkah yang berbeda: langkah sunyi seorang pencari. Ia berjalan tanpa banyak bicara, tetapi hatinya berseru lantang kepada Rabb-nya.
Ia tak sedang berkunjung ke sebuah tempat, melainkan tengah kembali ke pangkal cinta. Nabawi bukan hanya masjid bagi para peziarah, tetapi taman ruhani tempat cinta Ilahi tumbuh dalam diam. Di sinilah Rasulullah ﷺ disemayamkan, dan di sinilah pula jutaan cinta dilabuhkan dalam doa dan air mata. Di sinilah cinta tak lagi menjadi kata, tapi menjadi napas.
Langkahnya ringan namun sarat makna. Seolah setiap injakan di lantai marmer itu adalah pernyataan cinta yang tak butuh huruf. Ia menapaki pelataran Nabawi seakan tahu: Rasulullah bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk diikuti, dicintai, dan diteladani dengan seluruh jiwa.
Sufi-sufi terdahulu mengajarkan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya bukan hanya melalui lisan, melainkan melalui kehampaan ego. Maka sang pencari ini pun datang tanpa membawa nama besar, tanpa memamerkan amal, hanya membawa segenggam rindu dan secuil harap agar diterima sebagai hamba.
Nabawi menjadi saksi. Saksi atas hati-hati yang remuk, yang mencoba menyatukan kembali pecahan dirinya dalam zikir. Saksi atas air mata yang jatuh tanpa suara di tengah malam yang sunyi. Saksi atas janji-janji untuk berubah, untuk lebih dekat kepada Tuhan, untuk lebih lembut kepada sesama. Semua itu bergetar di bawah payung-payung besar yang terbuka saat mentari menyapa bumi Madinah.
Bagi sang pencari, Nabawi bukan tujuan akhir. Ia hanya persinggahan indah, tempat menyucikan niat dan menyuburkan cinta. Dari sini, langkahnya akan terus berlanjut—menyusuri dunia dengan hati yang dipenuhi cahaya, dengan jiwa yang siap mencintai karena telah terlebih dahulu dicintai oleh-Nya.
Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan itu—hanya diam, air mata, dan desah napas yang tak henti berdoa. Inilah langkah sunyi yang sebenarnya paling riuh: riuh dengan cinta, riuh dengan kehadiran Ilahi yang menyelimuti seluruh batin.
Semoga kita pun kelak diberi kesempatan menjadi pencari itu. Melangkah dengan khusyuk, menangis tanpa malu, mencintai tanpa syarat. Dan semoga Nabawi pun kelak menjadi saksi bahwa pernah ada hamba yang datang, mencari-Nya dalam hening—dan menemukan-Nya dalam cinta.
Istilah-istilah dalam Ibadah Haji Assalaam
Do'a Niat Mandi Sunnah dan Shalat Sunnah Ihram dalam Ibadah Haji Assalaam
Ziarah Sekitar Masjidil Haram Assalaam
Catatan Perjalan Ibadah Haji 2025 : ARMUZNA Rangkaian Suci Puncak Ibadah Haji Assalaam
Posisi Terhormat Ibu Dalam Konsep Islam Assalaam
Haji 2025 Tak Lagi Seragam: Ketika Satu Kloter Terbelah Karena Syarikah Assalaam
Marhaban Ya Ramadhan : Oleh KH. Lukman Hakim Assalaam
"Menuju Haji Mabrur dengan Bimbingan Terarah" Assalaam
“Menepi Sejenak di Tanah Cinta: Saat Hati Bertemu Cahaya Nabawi” Assalaam
Tandatangani MoU, Indonesia akan Berangkatkan 221 Ribu Jemaah pada Operasional Haji 2025 : 12 Jan 2025 ; oleh Mustarini Bella Vitiara Assalaam
Belajar dari Unta: Makna dan Hikmah dari Keberadaannya Assalaam
Tempat Turunnya Wahyu Pertama kepada Rasulullah SAW Assalaam
Qolbun Salim: Hati yang Bersih dalam Pandangan Islam Assalaam
Ridho Allah dan Cinta-Nya: Tanda-Tanda yang Diberikan kepada Hamba-Nya Assalaam
Tiga Sikap yang Harus Dijahui Assalaam
Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda di situs ini. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.
Terima & LanjutkanPerlu informasi lebih lanjut? Kebijakan Privasi – atau – Kebijakan Cookie dan GDPR