Di dalam keheningan Masjid Nabawi yang penuh berkah, terekam momen sederhana namun begitu menyentuh: seorang anak kecil berdiri di belakang ayahnya, dengan tangan mungil yang menyentuh lembut kopiah sang ayah. Di sekeliling mereka, jamaah lain tenggelam dalam ibadah, namun kisah ini berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati yang peka—bahasa kasih sayang dan keteladanan.
Sang ayah duduk tenang membaca Al-Qur’an, tak terganggu oleh gerak-gerik anaknya. Ia tahu, anak kecil itu sedang belajar—bukan hanya dari huruf dan kata, tapi dari apa yang ia lihat dan rasakan. Di pelataran Nabawi, anak itu sedang menyerap cinta dan nilai, sedang membangun ingatan yang akan ia bawa seumur hidup: bahwa masjid adalah rumah, dan ayah adalah guru pertama.
Momen ini adalah cermin dari sunnah yang hidup. Rasulullah ﷺ tak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga kasih. Beliau mencium cucunya, menggendong mereka saat shalat, dan memberi ruang untuk cinta dalam ibadah. Di tengah keseriusan umat dewasa, anak-anak tidak dilarang, melainkan dirangkul—sebab dari mereka, harapan ummat tumbuh.
Dalam sentuhan lembut anak itu, kita melihat benih keteladanan sedang ditanam. Ia tidak sedang bermain, ia sedang terlibat. Ia sedang menghayati atmosfer suci dengan caranya sendiri. Sementara sang ayah, tanpa banyak bicara, telah menunjukkan bahwa mendidik bukan hanya dengan perintah, tetapi dengan kehadiran dan keteladanan.
Masjid menjadi tempat terbaik untuk menanam nilai kehidupan. Di sinilah anak belajar mencintai Al-Qur’an bukan karena disuruh, tetapi karena melihatnya dibaca dengan cinta. Mereka mengenal wudhu, mengenal shalat, mengenal zikir—semua dari interaksi langsung, bukan hanya dari teori. Dan di sinilah, iman tumbuh secara alami.
Betapa beruntungnya sang anak—ia tak hanya diajak ke Tanah Suci, tapi juga diajak mengalami. Ia menjadi bagian dari perjalanan spiritual keluarga. Ia akan tumbuh mengenang bahwa di tempat mulia inilah, ia menyentuh kepala ayahnya saat ayahnya membaca Kitab Suci. Kenangan ini akan menjelma menjadi cahaya yang memandunya di masa depan.
Foto ini bukan sekadar dokumentasi keluarga, melainkan pelajaran penting tentang peran orang tua dalam membentuk karakter anak di tempat-tempat suci. Semoga setiap ayah dan ibu yang membawa anak ke rumah Allah, membawa serta niat untuk menanam iman yang dalam. Sebab cinta pertama anak kepada agama, sering kali berawal dari cinta mereka kepada orang tua yang mencintai agama.
Di Tanah Suci, segalanya menjadi lebih berarti. Termasuk momen kecil seperti ini. Karena di tempat di mana langit terasa lebih dekat, cinta pun menjadi lebih dalam. Dan ketika kasih sayang tumbuh di atas sajadah, maka keteladanan pun akan mengakar dalam, menumbuhkan generasi yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati.
Istilah-istilah dalam Ibadah Haji Assalaam
Do'a Niat Mandi Sunnah dan Shalat Sunnah Ihram dalam Ibadah Haji Assalaam
Ziarah Sekitar Masjidil Haram Assalaam
Catatan Perjalan Ibadah Haji 2025 : ARMUZNA Rangkaian Suci Puncak Ibadah Haji Assalaam
Posisi Terhormat Ibu Dalam Konsep Islam Assalaam
Haji 2025 Tak Lagi Seragam: Ketika Satu Kloter Terbelah Karena Syarikah Assalaam
Marhaban Ya Ramadhan : Oleh KH. Lukman Hakim Assalaam
"Menuju Haji Mabrur dengan Bimbingan Terarah" Assalaam
“Menepi Sejenak di Tanah Cinta: Saat Hati Bertemu Cahaya Nabawi” Assalaam
Tandatangani MoU, Indonesia akan Berangkatkan 221 Ribu Jemaah pada Operasional Haji 2025 : 12 Jan 2025 ; oleh Mustarini Bella Vitiara Assalaam
Belajar dari Unta: Makna dan Hikmah dari Keberadaannya Assalaam
Tempat Turunnya Wahyu Pertama kepada Rasulullah SAW Assalaam
Qolbun Salim: Hati yang Bersih dalam Pandangan Islam Assalaam
Ridho Allah dan Cinta-Nya: Tanda-Tanda yang Diberikan kepada Hamba-Nya Assalaam
Tiga Sikap yang Harus Dijahui Assalaam
Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda di situs ini. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.
Terima & LanjutkanPerlu informasi lebih lanjut? Kebijakan Privasi – atau – Kebijakan Cookie dan GDPR