Menatap Madinah dari Jendela Hati

  • Assalaam
  • H. Muttaqien
  • 27
...

Ada yang berbeda saat kita memandang Madinah. Bukan hanya karena kemegahan arsitekturnya atau keindahan langit senjanya, tapi karena ada getaran halus yang menyentuh sisi terdalam hati. Dari jendela hati kita, Madinah bukan sekadar kota, melainkan ruang rindu yang penuh cahaya, tempat Rasulullah ﷺ menaburkan kasih sayangnya untuk umat hingga akhir zaman.

Bagi mereka yang pernah menapakkan kaki di pelatarannya, Madinah seperti panggilan pulang. Hati terasa tenang, langkah terasa ringan, dan air mata pun seringkali jatuh tanpa sebab. Bukan karena sedih, melainkan karena bahagia bisa begitu dekat dengan sejarah yang agung, dekat dengan sosok yang setiap hari disebut dalam shalawat, dan dekat dengan masjid yang memancar keteduhan.

Di balik gemerlap lampu dan suara lembut angin sore, ada saksi-saksi keimanan yang terus hidup: para sahabat yang dimakamkan dengan kehormatan, para jamaah yang berdoa dalam diam, dan para penjaga masjid yang melayani dengan ikhlas. Setiap sudut Madinah menyimpan cerita cinta yang mendalam antara manusia dan Tuhannya, antara umat dan Nabinya.

Foto itu, yang diambil dari balik bingkai bintang, bukan hanya gambar. Ia adalah simbol. Sebuah jendela yang seakan berkata: "Mari lihat dengan hati, bukan hanya dengan mata." Sebab hanya dengan hati, kita bisa benar-benar merasakan makna kehadiran di Tanah Haram, menyelami makna hijrah, dan mengerti mengapa Rasulullah ﷺ memilih kota ini sebagai tempat peristirahatan terakhirnya.

Madinah mengajarkan kesabaran, kelembutan, dan kasih sayang. Tak heran jika banyak yang menangis diam-diam saat harus meninggalkannya. Sebab setelah bertemu, hati merasa lengkap. Dan setelah pergi, hati merasa ditinggal. Tapi di situlah letak keindahannya — rindu kepada Madinah adalah rindu kepada Rasul, dan rindu kepada Rasul adalah rindu kepada Allah.

Setiap langkah yang pernah kita tapaki di sana menjadi saksi. Mungkin kita datang sebagai orang biasa, tapi pulang dengan hati yang dibersihkan oleh zikir dan air mata. Kita mungkin tak sempat berkata banyak saat berada di Raudhah, tapi diam kita telah diterjemahkan oleh langit sebagai harapan yang tulus.

Madinah, dalam pandangan orang-orang beriman, bukan hanya kota. Ia adalah pelabuhan hati. Tempat bersandar dari gelombang dunia. Dan ketika kita menatapnya dari jendela hati, kita tahu bahwa inilah rumah spiritual kita yang sejati — tempat di mana cinta, harapan, dan pengampunan bertemu dalam satu titik suci.

Semoga suatu hari nanti, kita kembali ke Madinah bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai pecinta yang telah mempersiapkan hati untuk menetap, walau hanya dalam doa. Karena menatap Madinah dari jendela hati, sesungguhnya adalah cara paling jujur untuk menyapa Rasulullah ﷺ dengan cinta yang tak bersyarat.


Lainnya

Cookie Consent


Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda di situs ini. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.

Terima & Lanjutkan

Perlu informasi lebih lanjut? Kebijakan Privasi – atau – Kebijakan Cookie dan GDPR